Bedhaya Ketawang dan Mitosnya

Beberapa hari lalu, saya streamer-an mendengarkan sebuah stasiun radio. Kebetulan saat itu sedang dibahas sedikit cerita tentang mitos tarian kebesaran Bedhaya Ketawang. Sebenarnya cukup menarik, namun karena hanya sekilas info di jeda iklan jadi samar deh informasinya. Setelah sedikit searching, ternyata memang banyak cerita yang similiar.

Image

bedhaya ketawang

Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian kebesaran dan tarian yang di sakralkan di Keraton Jawa (Yogyakarta dan Solo). Tarian ini hanya dipentaskan satu tahun sekali, yaitu pada saat perayaan  hari penobatan raja atau “Tingalan Dalem Jumenengan”.

Seperti halnya tarian Bedhaya lainnya, tarian ini bersifat magis-religius, dalam pementasannya tarian ini dipentaskan oleh 7 sampai 9 penari. Awalnya tarian ini hanya dimainkan oleh 7 orang penari saja, namun dalam perkembangannya, karena tarian ini dianggap sebagai tarian khusus dan amat sakral, sehingga akhirnya dimainkan oleh 9 orang penari.

Sebelum menarikan tarian ini, kesembilan penari harus melakukan ritual puasa tertentu, mensucikan diri lahir batin, dan tidak sedang dalam keadaan datang bulan. Sehingga seringkali penari penari cadangan dipersiapkan untuk menggantikan jika saat tiba hari pementasan ada salah satu penari yang berhalangan sehingga tidak memenuhi syarat untuk mementaskan tarian ini.  Lebih dari itu, para penari harus dalam keadaan perawan.

Selain itu, Keraton juga harus melakukan ritual tertentu. Yaitu larungan atau labuhan (persembahan korban) berupa sesaji ke 4 titik mata angin, yaitu : di bagian arah utara untuk Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng Ratu Sekar. Di bagian arah selatan untuk Segoro Kidul (Laut Selatan) dengan penguasa Ratu Kidul. Di bagian barat, untuk Tawang Sari dengan penguasa Sang Hyang Pramori (Durga di hutan Krendowahono). Dan terakhir, di bagian timur untuk Tawang Mangu dengan penguasa Argodalem Tirtomoyo, dan Gunung Lawu dengan penguasa Kyai Sunan Lawu.

Ada beberapa versi mengenai penciptaan tari ini. Konon, tarian ini diciptakan ratunya seluruh makhluk halus, yaitu Ratu Kencanansari atau lebih dikenal sebagai Ratu Kidul untuk melambangkan cinta kasihnya kepada raja penguasa Mataram.

Versi pertama, menurut Sinuhun Paku Buwono X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati (raja pertama Kerajaan Mataram) segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh Raja-Raja Jawa yang Turun Temurun atau Raja-Raja Penerus.

Namun versi lain, menurut kitab Wedhapradagna, tarian Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung (raja ketiga Kerajaan Mataram), dan Kanjeng Ratu Kidul diminta oleh Sultan untuk mengajarkan secara langsung gerakan tarian tersebut kepada para penari kesayangan Sultan. Pelajaran tari ini diselenggarakan setiap malan Anggara Kasih (selasa kliwon). Sampai saat inipun, para penari masih melakukan latihan pada hari tersebut.

Saat tarian dipentaskan tidak dibenarkan adanya makanan atau rokok, karena hal ini dianggap akan mengganggu ke khidmat-an dari tarian ini. Maka, selama kurang lebih 5.5 jam hadirin harus khusuk, tidak berbicara, tidak makan, tidak minum, dan hanya menikmati setiap gerakan dari tarian

Saat pementasan, dipercaya sang pencipta tarian ini juga turut hadir. Namun tidak semua orang dapat melihatnya, hanya mereka yang memiliki kepekaan tertentu saja yang merasakannya. Begitu pula saat para penari berlatih, sang pencipta tarian ini dipercaya ikut membenarkan gerakan – gerakan para penari, namun tentunya tidak kasat mata, hanya penari yang memiliki kepekaan pula lah yang dapat merasakannya

3 thoughts on “Bedhaya Ketawang dan Mitosnya

Leave a reply to Idah Ceris Cancel reply